BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Dilihat dari sudut perkembangan
kebudayaan, renaissance sesungguhnya merupakan tonggak sejarah atau awal jaman modern dari sejarah Eropa Barat, yang
ditandai dengan munculnya para tokoh pemikir humanis, termasuk di dalamnya
adalah Machiavelli. Mereka itu terdiri dari para kaum intelektual, sastrawan,
filosof, ilmuwan, seniman dan sebagainya. Walaupun hanya terdiri dari kelompok
kecil saja, namun demikian gagasan-gagasan mereka benar-benar telah
membangkitkan semangat (jiwa) baru dan
jaman baru, sehingga mereka itu juga sering disebut dengan istilah kelompok
minoritas kreatif. Gagasan-gagasan mereka itu juga menimbulkan semangat
kewiraswastaan (enterpreneurship) dalam arti luas, baik dalam bidang keilmuan,
perdagangan, sastra, seni, politik, filsafat dan lain sebagainya, sehingga masa
itu disebut dengan istilah sebagai jaman kebangkitan. Sebagai contoh yang
paling menonjol dalam hal itu adalah munculnya seorang pemikir Rene des Cartes
yang terkenal dengan ucapannya “cogito ergosum” yang artinya “saya tahu jadi
saya ada.” Maksudnya adalah bahwa pangkal dari eksistensi manusia adalah karena
adanya kesadaran dari manusia itu sendiri, dimana segala sesuatunya bersumber
dari pada rasio (rasionalisme).
2.
Rumusan Masalah
A.
Apa
Saja Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Penyimpangan Peradaban Eropa Itu Terjadi?
B.
Bagaimana
Pemikiran, Tokoh, dan Karya Historiografi Eropa Zaman Rasionalisme dan
Pencerahan Itu?
3.
Tujuan Penulisan
A.
Mengetahui
Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Penyimpangan Peradaban Eropa Itu Terjadi
B.
Mengetahui
Pemikiran, Tokoh, dan Karya Historiografi Eropa Zaman Rasionalisme dan
Pencerahan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan
Penyimpangan Peradaban Eropa
Dalam bidang kebudayaan, menurut J. Romein seorang
filosof Belanda menyatakan bahwa sampai kira-kira tahun 1500an di dunia ini
terdapat 3 kebudayaan besar yang bergerak sejajar yaitu kebudayaan India, Asia
dan Barat. Namun demikian setelah jaman renaissance dan humanisme peradaban
Eropa mengalami penyimpangan dari pola umum, yaitu berkembang dengan pesat
meninggalkan peradaban lainnya di muka bumi ini. Sebagai hasilnya adalah bahwa
pada abad 19-20 kebudayaan Barat mampu menunjukkan superioritasnya terhadap
kebudayaan Timur.
Faktor-faktor
yang menyebabkan penyimpangan dari pola umum itu adalah sebagai berikut:
1.
Rasionalisme, yaitu suatu aliran pemikiran yang
menganggap bahwa rasio merupakan kekuatan utama, mendasar atau sumber dari
peradaban manusia. Rasionalisme timbul sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan
yang didasarkan atas daya pikir manusia.
2.
Reformasi, yaitu suatu gerakan religius (Kristen)
yang dahsyat dan didorong oleh perkembangan rasionalisme dan humanisme. Sampai
tahun 1500an Eropa masih disatukan dalam payung agama Kristen di bawah pimpinan
Vatikan di Roma. Menurut ajaran gereja Romawi disebutkan bahwa tidak semua
orang boleh dan dapat membaca Injil karena merupakan hak (monopoli) kaum
rohaniawan. Sebaliknya kaum rasionalisme mengajarkan bahwa semua orang dibekali
rasio, sehingga bila mengehendaki dan dengan cara belajar juga memiliki
kemampuan membaca Injil. Sehubungan dengan hal itu muncul tokoh-tokoh reformasi
yang memprotes monopoli agama oleh gereja Romawi antara lain M Luther King,
Zwingli, Calvin, Melanchton dan sebagainya.
Mereka berpendapat dan berjuang bahwa setiap individu boleh membaca dan
menterjemahkan Kitab Suci (Injil). Di sinilah nampak penonjolan individu yang
dinilai tinggi, sehingga dalam perkembangan selanjutnya memunculkan faham
individualisme.
3.
Nasionalisme, yaitu gerakan reformasi dari Luther
dan kawan-kawannya menentang gereja di Roma dengan mempropagandakan
penterjemahan Injil ke dalam berbagai bahasa agar dapat dibaca dan dipahami
oleh setiap orang. Pada waktu itu Injil masih ditulis dalam bahasa Latin,
demikian juga dalam upacara-upacara keagamaan juga digunakan bahasa Latin yang
sudah merupakan bahasa mati. Sebagai hasilnya terjadilah gerakan penterjemahan
Injil dalam berbagai bahasa seperti Inggris, Jerman, Perancis, Spanyol, Portugal,
Belanda dan lain sebagainya. Ternyata
gerakan penterjemahan itu juga mendorong munculnya gerakan-gerakan nasional, sehubungan dengan setiap bangsa di
Eropa ingin menggunakan bahasa mereka masing-masing dalam memahami, menghayati
dan mengamalkan agama yang bersumber dari Injil. Sebagai akibat lebih
lanjut muncullah faham nasionalisme di
Eropa yang kemudian mendorong menculnya negara-negara nasional. Demikian juga
walaupun belum secara terbuka agama Kristen sudah mulai terpecah-pecah menjadi
beberapa aliran sebagai akibat perbedaan interpretasi dalam memahami Injil yang
sudah banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
4.
Ekspansi, yaitu perluasan baik dalam bidang
ekonomi, politik, geografis dan kebudayaan pada umumnya dari bangsa Eropa ke
seluruh penjuru dunia sejak tahun 1500an. Hal itu terutama didorong oleh
ledakan petualangan orang-orang Eropa ke seluruh penjuru dunia dan berhasil
menemukan dan memperkenalkan benua-benua
baru bagi bangsa Eropa. Keberanian
mereka itu tidak lain disemangati oleh jiwa enterpreneurship dalam arti yang
luas. Tujuannya adalah keinginan untuk kehidupan yang lebih baik dan kemajuan.
Beberapa petualang tersebut yang bahkan di anntaranya pernah sampai ke wilayah
Indonesia antara lain Marcopolo, Pigavetta, Pinto, Tome Pires dan sebagainya.
Laporan para petualang itu ternyata membuka mata bangsa-bangsa Eropa akan
adanya dunia lain di luar Eropa dengan peradapan dan kebudayaan yang tidak
kalah majunya, antara lain Mesir, Cina, Asia Barat, India dan lain sebagainya.
Hal itu selanjutnya membangkitkan kesadaran akan kerelatifan atas kebudayaannya
sendiri yang semula dianggap satu-satunya paling baik dan benar. Oleh karena itu mereka juga terdorong untuk
mengkaji kebudayaan mereka sendiri, termasuk tradisi dan religi yang sampai
waktu itu masih dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak.[1]
B. Pemikiran, Tokoh, dan Karya
Historiografi Eropa Barat Zaman Rasionalisme dan Pencerahan
Masa zaman rasionalisme dan pencerahan ini berlangsung cukup lama
(1500 an) dan pengaruhnya dapat dirasakan banyak tempat. Tetapi tentu bukan
perkara mudah melacak semua
historiografi berabad-abad yang luas itu. Disini hanya akan dikemukakan
beberapa nama tokoh, yaitu Voltaire dan Auguste Comte.
1.
Voltaire
Voltaire itu sebetulnya
nama samaran. Nama yang diberikan bapaknya ketika dia diseret keluar oleh bidan
adalah Francois Marie Arouet. Siapa pun panggilannya, yang jelas dia tokoh
terkemuka pembaharu Perancis. Fungsinya tidak cuma dwi, tetapi jauh lebih
banyak dari itu: penyair, penulis drama, penulis esai, penulis cerita pendek,
ahli sejarah, dan filosof. Dia betul-betul juru bicaranya pemikiran bebas
liberal. Voltaire lahir tahun 1694 di Paris dari keluarga menengah, dan
ayahnya seorang ahli hukum. Di masa mudanya Voltaire belajar di perguruan
Jesuit Louis-le-Grand di Paris. Selepas itu dia belajar ilmu hukum sebentar
tetapi kemudian ditinggalkannya. Selaku remaja di Paris dia dikenal cerdas,
pandai humor tingkat tinggi dan tersembur dari mulutnya kalimat-kalimat satire.
Di bawah ancient regime
alias pemerintahan lama, tingkah laku macam itu bisa mengundang bahaya. Dan
betul saja! Karena ucapan-ucapannya yang mengandung politik dia ditahan
"diamankan" di penjara Bastille. Hampir setahun penuh dia meringkuk
di situ. Tetapi dia tidak sebodoh pemerintah yang menjebloskannya. Dia bukannya
bengong-bengong seperti orang bego, tetapi disibukkannya dirinya dengan menulis
sajak-sajak kepahlawanan Henriade yang kemudian dapat penghormatan tinggi.
Tahun 1718, tak lama sesudah Voltaire menghirup udara bebas, drama Oedipe-nya
diprodusir di Paris dan merebut sukses besar. Di umur dua puluh empat tahun
Voltaire sudah jadi orang termasyhur, dan dalam sisa enam puluh tahun hidupnya
dia betul-betul jadi jagonya kesusasteraan Perancis.
Voltaire punya
kepintaran ganda yang langka: pintar dalam hubungan uang dan pintar dalam
hubungan ucapan. Tak heran jika setingkat demi setingkat dia menjadi seorang
yang hidup bebas dengan kantong penuh uang. Tetapi tahun 1726 dia dapat
kesulitan. Voltaire sudah menempatkan dirinya selaku orang yang cerdas dan
brilian dalam adu pendapat, bukan saja menurut ukuran jamannya tetapi mungkin
untuk ukuran sepanjang jaman. Tetapi, dia kurang supel dan rendah hati yang
oleh kalangan aristokrat Perancis dianggap suatu persyaratan yang mesti
dipunyai oleh seorang kebanyakan seperti dia.
Hal ini menyebabkan
pertentangan antara Voltaire dengan kaum aristokrat, khususnya Chevalier de
Rohan yang dikalahkan oleh kecerdasan Voltaire dalam adu kata. Selang beberapa
lama, Chevalier mengupah tukang-tukang pukul mempermak Voltaire dan
menjebloskannya lagi kedalam penjara Bastille. Voltaire dibebaskan dari situ
dengan syarat dia mesti meninggalkan Perancis. Karena itu dia berkeputusan
menyeberang ke Inggris dan tinggal di sana selama dua setengah tahun.Tinggalnya
dia di Inggris rupanya merupakan titik balik dalam kehidupan Voltaire. Dia
belajar bercakap dan menulis dalam bahasa Inggris dan karenanya menjadi
terbiasa dengan karya-karya besar orang Inggris masyhur seperti John Locke,
Francis Bacon, Isaac Newton dan William Shakespeare. Dia juga berkenalan secara
pribadi dengan sebagian besar cerdik cendikiawan Inggris masa itu. Voltaire
amat terkesan dengan Shakespeare dan ilmu pengetahuan Inggris serta empirisme,
faham yang berpegang pada perlunya ada percobaan secara praktek dan bukannya
berpegang pada teori melulu. Tetapi, dari semuanya itu yang paling
mengesankannya adalah sistem politik Inggris. Demokrasi Inggris dan kebebasan
pribadi memberi kesan yang amat berlawanan dengan apa yang Voltaire saksikan di
Perancis. Tak ada bangsawan Inggris bisa mengeluarkan letre de cachet yang
dapat menjebloskan Voltaire ke dalam bui. Sebab, kalau toh dia ditangkap secara
semena-mena, perintah pembebasan segera diperolehnya. Tatkala Voltaire
kembali ke Perancis, dia menulis karya falsafahnya yang pertama Lettres
philosophiques yang lazimnya disebut Letters on the English. Buku itu yang
diterbitkan tahun 1734 merupakan tanda sesungguhnya dari era pembaharuan
Perancis. [2]
Dalam Letters on the
English, Voltaire menyuguhkan gambaran umum yang menyenangkan tentang sistem
politik Inggris berikut pikiran-pikiran John Locke dan pemikir-pemikir Inggris
lainnya. Penerbitan buku itu membikin berang para penguasa Perancis dan sekali lagi
Voltaire dipaksa angkat kaki dari Paris.Voltaire menghabiskan waktu lima belas
tahun di Cirey, sebuah kota di sebelah utara Perancis. Di sana dia menjadi
kekasih Madame du Chatelet, istri seorang marquis (bangsawan). Nyonya ini
cerdas dan berpendidikan. Tahun 1750, setahun sesudah sang nyonya meninggal
dunia, Voltaire pergi ke Jerman atas undangan pribadi Frederick yang Agung dari
Prusia. Voltaire menetap tiga tahun di kediaman Frederick di Potsdam. Mulanya
dia cocok dengan Frederick yang intelektual dan brilian itu tetapi tahun 1753
mereka bertengkar dan Voltaire meninggalkan Jerman. Sesudah meninggalkan
Jerman Voltaire menetap di sebuah perkebunan dekat Jenewa.
Di situ dia bisa aman
baik dari gangguan Perancis maupun raja-raja Prusia. Tetapi, pandangannya yang
liberal membuat bahkan Swiss tidak aman lagi baginya. Tahun 1758 pindahlah ia
ke suatu perkebunan baru di Ferney, terletak di dekat perbatasan Perancis-Swis,
sehingga memudahkan ia lari ke sana atau ke sini andaikata ada kesulitan dengan
pihak penguasa. Di situ dia tinggal selama dua puluh tahun, membenamkan diri
dalam karya kesusasteraan dan falsafah, bersurat-suratan dengan
pemimpin-pemimpin intelektual di seluruh Eropa dan menerima
tamu-tamunya. Sepanjang tahun-tahun itu, karya sastra Voltaire mengalir
terus tak henti-hentinya. Dia betul-betul seorang penulis dengan gaya
fantastis, mungkin penulis yang paling banyak bukunya dalam daftar buku ini.
Semua bilang, kumpulan tulisannya melebihi 30.000 halaman. Ini termasuk sajak
kepahlawanan, lirik, surat-surat pribadi, pamflet, novel, cerpen, drama, dan
buku-buku serius tentang sejarah dan falsafah.Voltaire senantiasa punya
kepercayaan teguh terhadap toleransi beragama.
Tatkala usianya
menginjak 60-an, terjadi sejumlah peristiwa yang mendirikan bulu roma perihal
pengejaran dan pelabrakan terhadap orang-orang Protestan di Perancis. Tergugah
dan marah besar, Voltaire mengabdikan dirinya ke dalam "jihad intelektual
" melawan fanatisme agama. Kesemua surat-suratnya senantiasa ditutupnya
dengan kalimat "Ecrasez l'infame" yang maknanya "Ganyang barang
brengsek itu!" Yang dimaksud Voltaire "barang brengsek" adalah
kejumudan dan fanatisme. Tahun 1778, ketika umurnya sudah masuk delapan
puluh tiga tahun, Voltaire kembali ke Paris, menyaksikan drama barunya Irene.
Publik berjubel meneriakinya "Hidup jago tua! Hidup biangnya pembaharuan
Perancis!" Beribu pengagum, termasuk Benjamin Franklin, menjenguknya.
Tetapi, umur Voltaire sudah sampai di tepi, Dia meninggal di Paris tanggal 30
Mei 1778. Akibat sikap anti gerejanya, dia tidak peroleh penguburan secara
Kristen. Tetapi, tiga belas tahun kemudian, kaum revolusioner Perancis yang
telah merebut kemenangan menggali makamnya kembali dan menguburnya di Pantheon
Paris.
Karya tulis Voltaire
begitu amat banyaknya sehingga sulit membuat seluruh daftarnya di sini meskipun
yang kakap-kakapnya saja dalam artikel yang begini singkat. Meskipun begitu
banyak karya tulisnya, yang lebih penting sebetulnya gagasan pokok yang
dikemukakannya selama hidupnya. Salah satu pendiriannya yang tergigih adalah
mutlaknya terjamin kebebasan bicara dan kebebasan pers.
Kalimat masyhur yang
sering dihubungkan dengan Voltaire adalah yang berbunyi "Saya tidak setuju
apa yang kau bilang, tetapi akan saya bela mati-matian hakmu untuk mengucapkan
itu." Meskipun mungkin saja Voltaire tidak pernah berucap sepersis itu,
tetapi yang jelas kalimat itu benar-benar mencerminkan sikap Voltaire yang
sebenarnya.Prinsip Voltaire lainnya ialah, kepercayaannya akan kebebasan
beragama. Seluruh kariernya, dia dengan tak tergoyahkan menentang
ketidaktoleransian agama serta penghukuman yang berkaitan dengan soal-soal
agama.
Meskipun Voltaire
percaya adanya Tuhan, dia dengan tegas menentang sebagian besar dogma-dogma
agama dan dengan mantapnya dia mengatakan bahwa organisasi berdasar keagaman
pada dasarnya suatu penipuan. Adalah sangat wajar bilamana Voltaire tak
pernah percaya bahwa gelar-gelar keningratan Perancis dengan sendirinya
menjamin kelebihan-kelebihan mutu, dan pada dasarnya tiap orang sebenarnya
mafhum bahwa apa yang disebut "hak-hak suci Raja" itu sebenarnya
omong kosong belaka. Dan kendati Voltaire sendiri jauh dari potongan seorang
demokrat modern (dia condong menyetujui suatu bentuk kerajaan yang kuat tetapi
mengalami pembaharuan-pembaharuan), dorongan pokok gagasannya jelas menentang
setiap kekuasaan yang diperoleh berdasarkan garis keturunan. Karena itu
tidaklah mengherankan jika sebagian terbesar pengikutnya berpihak pada
demokrasi.
Gagasan politik dan
agamanya dengan demikian sejalan dengan faham pembaharuan Perancis, dan
merupakan sumbangan penting sehingga meletusnya Revolusi Perancis tahun
1789. Voltaire bukanlah seorang ahli ilmu pengetahuan, tetapi dia menaruh
minat besar terhadap ilmu dan pendukung gigih sikap pandangan empiris dari John
Locke dan Francis Bacon. Dia juga seorang ahli sejarah yang serius dan
berkemampuan. Salah satu karyanya yang terpenting ialah buku yang menyangkut
sejarah dunia Essay on the Manners and Spirit of Nations. Buku ini berbeda
dengan umumnya uraian sejarah yang pernah ada sebelumnya dalam dua segi:
Pertama, Voltaire mengakui bahwa Eropa hanyalah merupakan bagian kecil dari
dunia secara keseluruhan, karena itu dia menitikberatkan sebagian dari pengamatannya
pada sejarah Asia. Kedua, Voltaire menganggap bahwa sejarah kebudayaan adalah
--pada umumnya-- jauh lebih penting daripada sejarah politik. Bukunya dengan
sendirinya lebih berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi dan perkembangan seni
ketimbang soal raja-raja dengan segala rupa peperangannya. Voltaire
bukanlah mendekati filosof orisinal seperti beberapa tokoh yang ada dalam
daftar buku ini. Sampai batas tertentu dia bertolak dari pandangan orang lain
seperti John Locke dan Francis Bacon, memperkuat pendapat mereka atau
mempopulerkan mereka.
Melalui tulisan-tulisan
Voltaire-lah, lebih dari siapa pun juga, ide demokrasi, toleransi agama dan
kebebasan intelektual berkembang di seluruh Eropa. Meskipun ada penulis-penulis
penting lain (Diderot, d'Alembert, Rousseau, Montesquieu dan lain-lain) dalam
masa pembaharuan Perancis, Voltaire lebih layak dianggap pemuka dari kesemuanya
itu. Dia pemimpin terkemuka dari gerakan itu. Pertama, gaya sastranya
yangmenggigit, kariernya yang panjang, dan tulisannya yang begitu banyak
menggaet pengikut yang tak tertandingkan oleh penulis-penulis yang mana pun
juga. Kedua, gagasan-gagasannya sepenuhnya bercirikan pembaharuan. Ketiga,
Voltaire mendahului tokoh-tokoh penting lain dari sudut waktu. Karya besar
Montesquieu The Spirit of Law baru terbit tahun 1748; jilid pertama
Encyclopedie yang masyhur itu baru terbit tahun 1751; esei Rousseau pertama
ditulis tahun 1750. Sedangkan Letters on the English-nya Voltaire sudah muncul
tahun 1734 dan dia sudah kesohor enam belas tahun sebelum buku itu
keluar.Tulisan-tulisan Voltaire dengan kekecualian novel pendek Candide sedikit
sekali dibaca orang sekarang. Kesemua buku-bukunya tersebar dan terbaca luas
selama abad ke-18, karena itu Voltaire pegang peranan penting mengubah iklim
pendapat umum yang ujung-ujungnya berpuncak pada meletusnya Revolusi Perancis.
Dan pengaruhnya tidaklah cuma terbatas di Perancis: orang-orang Amerika seperti
Thomas Jefferson, James Madison dan Benjamin Franklin juga kenal baik dengan
tulisan-tulisannya. Adalah menarik membandingkan Voltaire dengan teman
sejamannya yang masyhur Jean-Jacques Rousseau. Voltaire yang segenap
pandangannya rasional. lebih berpengaruh. Sebaliknya, Rousseau lebih orisinal
dan karyanya lebih berpengaruh di jaman sekarang ini.
Salah seorang sejarawan terkemuka dari aliran
rasionalisme adalah Voltaire (1694-1778) yang semula bernama Francois Arouet.
Setelah menyelesaikan studi hukum ia memperluas sendiri studinya , pada bidang
sastra, khususnya menjadi penulis pertunjukan tonel, epen (cerita
kepahlawanan), cerita-cerita novel,
risalah sastra essays, dan karya-karya historis. Namun demikian akhirnya
ia mencurahkan hampir seluruh hidupnya
untuk penelitian dan penulisan sejarah. Salah satu karyanya yang terpenting
adalah “Essay Sur les moeurs et L’esprit des nations’ (adat istiadat dan jiwa
bangsa-bangsa). Karya tersebut membuka
pandangan baru orang-orang Eropa terhadap kebudayaan di luar Eropa dan
cakrawala yang lebih luas lagi mengenai bangsa-bangsa lain. Sebagai penganut
rasionalisme Voltaire bertumpu kepada
manusia sebagai pelaku sejarah dalam mencari fakta-fakta dan menyusunnya
menjadi kisah sejarah. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa karya Voltaire
itu mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
-
Kosmopolitan, yaitu pandangannya yang luas dan
tidak terikat pada suatu tempat, bangsa atau suku bangsa tertentu.
-
Universal, yang berarti membicarakan atau
membahas manusia secara umum. Gambaran manusia menurut kaum rasionalis (yang
sekaligus humanis) adalah bahwa hanya ada satu manusia tanpa perlu membedakan
ras maupun kebudayaannya. Kaum rasionalis juga menghendaki agar seluruh umat
manusia menjalin suatu persaudaraan yang besar.
-
Karya Voltaire tidak disusun secara
kronologis, akan tetapi bersifat tematis, yaitu berisi gambaran gaya hidup atau
peradaban manusia yang merupakan trend baru dalam historiografi Eropa pada
waktu itu.
-
Bahan-bahan yang dipergunakan untuk menyusun
karyanya diperoleh dari karangan atau tulisan-tulisan etnografis, kisah-kisah
perjalanan yang dibuat oleh para petualang penjelajah dunia seperti Tome Pires,
Pinto, Marcopollo, Baros dan sebagainya. Dengan demikian buku tersebut lebih
banyak berisi gambaran atau diskripsi mengenai masyarakat atau suku-suku bangsa
yang pernah dikunjungi para petualang seperti Teluk Parsi, Malaka, Cina,
Malabar, India dan sebagainya.[3]
Karya-karya
sejarah yang lain dari Voltaire adalah:
-
Histoire
de charles XII (1731)
-
Le Siecle de Louis XIV (1751)
-
Histoire
de la Guerre de 1741 (1755)
-
Histoire
generale depuis Charlemagne jusqu’`a nos jours (1756)
-
Dan yang
lebih terkenal adalah “Essai sur les moeurs et l’esprit des nations et sur les
principaux faits de l’histoire depuis Charlemagne jusqu’`a Louis XIII
-
Histoire de l’empire de Russie sous Pierre le
Grand (1760-1763)
-
Philosophie
de l’histoire (1765)
-
Precis du Siecle de Louis XV (1768).
2.
Auguste comte
Auguste
Comte dilahirkan di Montpellier, Prancis tahun 1798, keluarganya beragama
khatolik dan berdarah bangsawan. Dia mendapatkan pendidikan di Ecole
Polytechnique di Prancis, namun tidak sempat menyelesaikan sekolahnya karena
banyak ketidakpuasan didalam dirinya, dan sekaligus ia adalah mahasiswa yang
keras kepala dan suka memberontak.
Comte
akhirnya memulia karir profesinalnya dengan memberi les privat bidang
matematika. Namun selain matematika ia juga tertarik memperhatikan
masalah-masalah yang berkaitan dengan masyarakat terutama minat ini tumbuh
dengan suburnya setelah ia berteman dengan Saint Simon yang mempekerjakan Comte
sebagai sekretarisnya.
Kehidupan
ekonominya pas-pasan, hampir dapat dipastikan hidupa dalam kemiskinan karena ia
tidak pernah dibayar sebagaimana mestinya dalam memberikan les privat, dimana
pada waktu itu biaya pendidikan di Prancis sangat mahal. Pada tahun 1842 ia
menyelesaikan karya besarnya yang berjudul Course of Positive Philosophy dalam
6 jilid, dan juga karya besar yang cukup terkenal adalah System of Positive
Politics yang merupakan persembahan Comte bagi pujaan hatinya Clothilde de
Vaux, yang begitu banyak mempengaruhi pemikiran Comte di karya besar keduanya
itu. Dan dari karyanya yang satu ini ia mengusulkan adanya agama humanitas,
yang sangat menekankan pentingnya sisi kemanusiaan dalam mencapai suatu
masyarakat positifis.
Comte hidup
pada masa akhir revolusi Prancis termasuk didalamnya serangkaian pergolakan
yang tersu berkesinambungan sehingga Comte sangat menekankan arti pentingnya
Keteraturan Sosial. Pada tahun 1857 ia mengakhiri hidupnya dalam kesengsaraan
dan kemiskinan namun demikian namanya tetap kita kenang hingga sekarang karena
kegemilangan pikiran serta gagasannya.[4]
1. Konteks Sosial dan Lingkungan Intelektual
Untuk
memahami pemikiran Auguste Comte, kita harus mengkaitkan dia dengan faktor
lingkungan kebudayaan dan lingkungan intelektual Perancis. Comte hidup pada
masa revolusi Perancis yang telah menimbulkan perubahan yang sangat besar pada
semua aspek kehidupan masyarakat Perancis. Revolusi ini telah melahirkan dua
sikap yang saling berlawanan yaitu sikap optimis akan masa depan yang lebih
baik dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan sebaliknya sikap
konservatif atau skeptis terhadap perubahan yang menimbulkan anarki dan sikap
individualis.
Lingkungan
intelektual Perancis diwarnai oleh dua kelompok intelektual yaitu para peminat
filsafat sejarah yang memberi bentuk pada gagasan tentang kemajuan dan para
penulis yang lebih berminat kepada masalah-masalah penataan masyarakat. Para
peminat filsafat sejarah menaruh perhatian besar pada pertanyaan-pertanyaan
mengenai apakah sejarah memiliki tujuan, apakah dalam proses historis
diungkapkan suatu rencana yang dapat diketahui berkat wahyu atau akal pikiran
manusia, apakah sejarah memiliki makna atau hanyalah merupakan serangkaian
kejadian yang kebetulan. Beberapa tokoh dapat disebut dari Fontenelle, Abbe de
St Pierre, Bossuet, Voltaire, Turgot, dan Condorcet. Para peminat
masalah-masalah penataan masyarakat menaruh perhatian pada masalah integrasi
dan ketidaksamaan. Tokoh-tokohnya antara lain Montesquieu, Rousseau, De Bonald.
Dua tokoh
filusuf sejarah yang mempengaruhi Comte adalah turgot dan Condorcet. Turgot
merumuskan dua hukum yang berkaitan dengan kemajuan. Yang pertama berisi dalil
bahwa setiap langkah berarti percepatan. Yang kedua adalah hukum tiga tahap
perkembangan intelektual, pertama, orang pertama menemukan sebab-sebab adanya
gejala-gejala dijelaskan dalam kegiatan mahluk-mahluk rohaniah, kedua,
gejala-gejala dijelaskan dengan bantuan abstraksi dan pada tahap ketiga orang
menggunakan matematika dan eksperimen. Menurut Condorcet, Studi sejarah
mempunyai dua tujua, pertama, adanya keyakinan bahwa sejarah dapat diramalkan
asal saja hukum-hukumnya dapat diketahui (yang diperlukan adalah Newton-nya
Sejarah). Tujuan kedau adalah untuk menggantikan harapan masa depan yang
ditentukan oleh wahyu dengan harapan masa depan yang bersifat sekuler. Menurut
Condorcet ada tiga tahap perkembangan manusia yaitu membongkar perbedaan antar
negara, perkembangan persamaan negara, dan ketiga kemajuan manusia
sesungguhnya. Dan Condorcet juga mengemukakan bahwa belajar sejarah itu dapat
melalui, pengalaman masa lalu, pengamatan pada kemajuan ilmu-ilmu pengetahuan
peradaban manusia, da menganalisa kemajuan pemahaman manusia terhadap alamnya.
Dan penulis
yang meminati masalah penataan masyarakat, Comte dipengaruhi oleh de Bonald,
dimana ia mempunyai pandangan skeptis dalam memandang dampak yang ditimbulkan
revolusi Perancis. Baginya revolusi nii hanya menghasilkan keadaan masyarakat
yang anarkis dan individualis. De Bonald memakai pendekatan organis dalam
melihat kesatuan masyarakat yang dipimpin oleh sekelompok orang yang diterangi
semangat Gereja. Individu harus tunduk pada masyarakat.
2. Comte dan Positivisme
Comte
adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kamu positivis percaya
bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian
empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan.
Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat
optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte.
Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte.
Menurut
Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat,
hukum-hukum yang menguasai proses perubahan. Mengikuti pandangan 3 tahap dari
Turgot, Simon juga merumuskan 3 tahap perkembangan masyarakat yaitu tahap
Teologis, (periode feodalisme), tahap metafisis (periode absolutisme dan tahap
positif yang mendasari masyarakat industri.
Comte
menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie
Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari
semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu
tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam
hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan
organis antara gejala-gejala ( diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika
adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sehjarah Condorcet).
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu:
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu:
1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs
dari syarat-syarat hidup
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu
yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang
pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus
berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai
perkambangan gagasan-gagasan.
3. Hukum Tiga Tahap Auguste Comte
Comte
termasuk pemikir yang digolongkan dalam Positivisme yang memegang teguh bahwa
strategi pembaharuan termasuk dalam masyarakat itu dipercaya dapat dilakukan
berdasarkan hukum alam. Masyarakat positivus percaya bahwa hukum-hukum alam
yang mengendalikan manusia dan gejala sosial dapat digunakan sebagai dasar
untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan sosial dan politik untuk menyelaraskan
institusi-institusi masyarakat dengan hukum-hukum itu.
Comte juga
melihat bahwa masyarakat sebagai suatu keseluruhan organisk yang kenyataannya
lebih dari sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung. Dan untuk
mengerti kenyataan ini harus dilakukan suatu metode penelitian empiris, yang
dapat meyakinkan kita bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti
halnya gejala fisik.
Untuk itu
Comte mengajukan 3 metode penelitian empiris yang biasa juga digunakan oleh
bidang-bidang fisika dan biologi, yaitu pengamatan, dimana dalam metode ini peneliti
mengadakan suatu pengamatan fakta dan mencatatnya dan tentunya tidak semua
fakta dicatat, hanya yang dianggap penting saja. Metode kedua yaitu Eksperimen,
metode ini bisa dilakukans ecara terlibat atau pun tidak dan metode ini memang
sulit untuk dilakukan. Metode ketiga yaitu Perbandingan, tentunya metode ini
memperbandingkan satu keadaan dengan keadaan yang lainnya.
Dengan
menggunakan metode-metode diatas Comte berusaha merumuskan perkembangan
masyarakat yang bersifat evolusioner menjadi 3 kelompok yaitu, pertama, Tahap
Teologis, merupakan periode paling lama dalam sejarah manusia, dan dalam
periode ini dibagi lagi ke dalam 3 subperiode, yaitu Fetisisme, yaitu bentuk
pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa
semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Politheisme, muncul
adanya anggapan bahwa ada kekuatan-kekuatan yang mengatur kehidupannya atau
gejala alam. Monotheisme, yaitu kepercayaan dewa mulai digantikan dengan yang
tunggal, dan puncaknya ditunjukkan adanya Khatolisisme.
Kedua,
Tahap Metafisik merupakan tahap transisi antara tahap teologis ke tahap
positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang
asasi yang dapat ditemukan dalam akal budi. Ketiga, Tahap Positif ditandai oleh
kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir, tetapi
sekali lagi pengetahuan itu sifatnya sementara dan tidak mutlak, disini
menunjukkan bahwa semangat positivisme yang selalu terbuka secara terus menerus
terhadap data baru yang terus mengalami pembaharuan dan menunjukkan dinamika
yang tinggi. Analisa rasional mengenai data empiris akhirnya akan memungkinkan
manusia untuk memperoleh hukum-hukum yang bersifat uniformitas.
Comte
mengatakan bahwa disetiap tahapan tentunya akan selalu terjadi suatu konsensus
yang mengarah pada keteraturan sosial, dimana dalam konsensus itu terjadi suatu
kesepakatan pandangan dan kepercayaan bersama, dengan kata lain sutau
masyarakat dikatakan telah melampaui suatu tahap perkembangan diatas apabila
seluruh anggotanya telah melakukan hal yang sama sesuai dengan kesepakatan yang
ada, ada suatu kekuatan yang dominan yang menguasai masyarakat yang mengarahkan
masyarakat untuk melakukan konsensus demi tercapainya suatu keteraturan sosial.[5]
Pada tahap
teologis, keluarga merupakan satuan sosial yang dominan, dalam tahap metafisik
kekuatan negara-bangsa (yang memunculkan rasa nasionalisme/ kebangsaan) menjadi
suatu organisasi yang dominan. Dalam tahap positif muncul keteraturan sosial
ditandai dengan munculnya masyarakat industri dimana yang dipentingkan disini
adalah sisi kemanusiaan. (Pada kesempatan lain Comte mengusulkan adanya Agama
Humanitas untuk menjamin terwujudnya suatu keteraturan sosial dalam masyarakat
positif ini).
BAB III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Historiografi zaman rasionalisme dan pencerahan yang di bawa oleh
Auguste Comte dan Voltaire itu banyak membawa perubahan bagi bangsa eropa pada
waktu itu. Meskipun mereka berbeda aliran tetapi mereka hakikatnya memiliki tujuan
yang sama dalam mengembangkan historiografi pada masa itu.
b.
Saran
Pemakalah menyadari sepenuhnya dalam memaparkan materi banyak
sekali terdapat kekurangan-kekurangan. Untuk itu pemakalah membuka diri untuk
menerima kritik dan saran dari teman-teman atau pembaca agar dalam pembuatan
makalah selanjutnya bisa lebih baik lagi
DAFTAR PUSTAKA
http://farisrusydi.blogspot.com/2012/10/pengaruh-zeitgeist(jiwa zaman)-dalam
historiografi
Hart, Michael. 1978. Seratus
Tokoh yang paling Berpengaruh dalam Sejarah. Jakarta: PT. Dunia Pustaka
Jaya
[2] Hart,
Michael. 1978. Seratus Tokoh yang paling Berpengaruh dalam Sejarah.
Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.hal. 79.
[4] http://ekagunawan.blogspot.com/2012/09/Riwayat Hidup
Auguste Comte/html
[5] http://ekagunawan.blogspot.com/2012/09/Riwayat Hidup
Auguste Comte/html